SELAMAT DATANG DI SITUS IMATAPTENG - SIBOLGA, TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA --------- Pada tanggal 16 Maret 2008 telah dilaksanakan Rapat Pembubaran Panitia Pengukuhan Pengurus, Untuk memenuhi unsur Transparansi dan Akuntabilitas pengelolaan keuangan Panitia akan menyajikan Pertanggungjawaban keuangan melalui situs ini. --------------

MILAD KE 20 DAN PENGUKUHAN PENGURUS

Jumat, April 25, 2008

Kaji Ulang Indikator Pembangunan Pendidikan

Jumat, 25 April 2008 | 00:07 WIB

Oleh Davy Hendri

Ada dua fakta penting terkait pembangunan pendidikan Indonesia yang perlu dicermati sepanjang tahun 2007.

Pertama, laporan capaian Millenium Development Goals (MDG’s) dan kedua, laporan capaian program Education For All (EFA).

MDG’s Report in Indonesia 2007 yang dipublikasikan Bappenas bersama Bank Dunia menyimpulkan, Indonesia sudah dalam jalur yang benar. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang di dunia dengan prestasi bagus dalam pencapaian angka partisipasi murni (APM) sekolah di sekolah dasar (SD) mendekati angka 100 persen.

Sementara itu, EFA Global Monitoring Report 2008, laporan tim EFA akhir 2007 menyatakan, posisi EFA Development Index (EDI) Indonesia tahun 2005 ada pada rangking 62 dari 129 negara yang disurvei. Prestasi ini menurun jika dibanding posisi 2002, rangking ke-58 dari 121 negara.

Kontradiksi capaian

Tak dapat dimungkiri, kedua fakta itu kontradiktif. Di satu sisi ada capaian positif, di sisi lain tertoreh catatan negatif. Sisi positifnya, selama 1992-2006 APM SD menunjukkan tren meningkat. Tahun 1992, APM SD 88,7 persen, menjadi 94,73 persen (2006). Jika tren ini dipelihara, diperkirakan sebelum 2015 Indonesia bisa menuntaskan target ke-2 MDG’s, yaitu tuntasnya SD bagi seluruh anak seusia itu.

Sisi negatifnya, EDI, yang merupakan indeks komposit empat indikator pendidikan utama yang menjadi proksi atas tujuan EFA, resultannya mengalami penurunan. Penurunan signifikan terjadi pada dua indikator: tingkat keberlanjutan sekolah sampai tahun ke-5 dan tingkat melek huruf dewasa. Terkait indikator yang disebut pertama, jika tahun 2002 Indonesia pada rangking ke-68, tahun 2005 turun ke peringkat 77. Sementara dari indikator tingkat melek huruf dewasa, peringkat Indonesia turun dari 67 menjadi 71 pada waktu yang sama.

Memang ada bagian senada laporan MDG’s. Pada dua indikator komponen EDI itu mencatat perbaikan. Dari sisi APM, tahun 2002 posisi Indonesia pada ranking 39, naik menjadi ranking 28 (2005). Sementara itu, indeks kesetaraan jender ada pada ranking 65 selama 2002-2005.

Bias indikator

Fakta kontradiktif itu merupakan alarm atas bias pengukuran prestasi pembangunan pendidikan Indonesia. Ternyata, ukuran kuantitatif, seperti tingkat daftaran siswa, baik APM maupun APK, tidak cukup menunjukkan prestasi sebenarnya di bidang pendidikan suatu negara.

Ada dua hal krusial dalam penggunaan indikator daftaran siswa sebagai proksi prestasi pembangunan pendidikan.

Pertama, penggunaan indikator APK mengesankan, pemerintah lebih terfokus pada program yang bersifat penyelamatan (ex-post) daripada pencegahan (ex-ante). Artinya, pemerintah tidak serius mencegah jangan sampai terjadi kasus tidak bersekolahnya anak sesuai umur (on-time). Semakin besar selisih APK dengan APM (jika APM masih di bawah 100 persen, dalam hal ini APK selalu lebih besar dari APM), berarti karena berbagai alasan kian banyak jumlah anak yang belum mengikuti level pendidikan tertentu sesuai usianya.

Kedua, fokus perbaikan indikator APM dan APK membuat pemerintah lalai mengawasi keberlanjutan dan penyelesaian pendidikan siswa. Di tengah prestasi APM SD yang hampir 100 persen, angka drop-out (DO) pada level ini secara nominal cukup tinggi, sekitar 414.000 orang tahun 2005 (EFA, 2007). Belum lagi soal kesiapan pribadi siswa SD untuk melanjutkan pendidikan ke SLTP dan mempertahankan prestasi belajarnya.

Peluasan indikator

Di antara berbagai faktor lain, besarnya jumlah DO di SD menjadi salah satu faktor penjelas terjadinya kontradiksi prestasi pendidikan Indonesia. Di saat negara lain mengalami perbaikan, dampak krisis moneter memaksa banyak anak Indonesia usia SD meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Di masa datang, agaknya APM SD 100 persen mungkin tidak memberi kontribusi banyak terhadap perbaikan peringkat EDI Indonesia, apalagi untuk mengurangi pertumbuhan angka kemiskinan, jika mutu pendidikan dasar yang rendah tidak mengalami perbaikan signifikan.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah memerhatikan kualitas pendidikan. Pada tataran praktis, hal ini dapat dimulai dengan introduksi dan adaptasi indikator tingkat keberlanjutan sekolah hingga tahun ke-5, rasio guru-murid sebagai proksi kualitas sekolah. Di beberapa negara maju, indikator itu dipertajam dengan menggunakan tingkat penyelesaian (completion rate) sekolah. Sebaliknya, perlu dibatasi penggunaan indikator APK. APK hanya untuk mengukur kinerja pendidikan di masyarakat dengan karakteristik tertentu, seperti daerah konflik dan terisolasi.

Pengalaman berbagai negara menunjukkan, adaptasi konsep ini memberikan manfaat besar terhadap prestasi dunia pendidikan. Bukan hanya ketersediaan data statistik pendidikan yang lebih lengkap, beberapa penelitian menyebutkan positif dan signifikannya pengaruh keberlanjutan siswa sampai tahun ke-5 dengan capaian skor tes siswa di sekolah. Bahkan, hasil penelitian lain menunjukkan pengaruh positif dan signifikan keberlanjutan siswa sampai tahun ke-5 terhadap kemampuan belajar pada level pendidikan SLTP.

Itulah agenda aksi yang harus menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia ke depan.

Davy Hendri Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol, Padang

Sumber : Kompas Online


1 komentar:

IDI CABANG MEDAN mengatakan...

Wellcome to the Jungle

Pelaminan Pesisir Tapteng-Sibolga

Pelaminan Pesisir Tapteng-Sibolga

TERIMAKASIH DAN SALAM HORMAT KEPADA YTH.,

TERIMAKASIH DAN SALAM HORMAT KAMI KEPADA YTH.,